Senin, 10 Oktober 2016

Fright Pack 2: Road to Damnation

Oktober 2014 yang lalu saya pernah menulis daftar yang berisi review singkat enam judul film horror yang saya rekomendasikan untuk anda saksikan ketika merayakan Halloween. Tahun ini saya memutuskan untuk membuat semacam sekuel atas daftar di tahun 2014 tersebut. 

Sama seperti daftar pendahulunya, daftar kali ini juga berisi 6 judul film horror dengan tema, gaya, serta nuansa yang cukup bervariasi. Daftar kali ini juga tidak berdasarkan urutan. Artinya, film yang satu tidak berarti lebih baik dibandingkan film yang lain. 
 
Tanpa berlama-lama lagi, inilah~

Mum & Dad (2008)

Daftar ini saya buka dengan sebuah film horror low budget asal UK. Film horror yang satu ini bisa dianggap (((membawa angin segar))) ke dalam sub genre torture porn. Meski tergolong low budget, Mum & Dad digarap dengan sangat baik sehingga menghasilkan suatu tontonan yang sangat sangat menyenangkan bagi penggemar horror. Mengingat film ini bergenre torture porn, saya tekankan bahwa ada banyak sekali adegan yang menampilkan brutality dan gore. Jadi, bagi anda yang kurang nyaman dengan adegan-adegan kekerasan ekstrem yang melibatkan berliter-liter darah, potongan tubuh, dan luka yang menganga, anda sudah diperingatkan. 

Plot film ini sendiri menurut saya cukup menarik. Cerita berfokus pada sebuah keluarga ‘unik’ yang terdiri dari bapak, ibu, dan dua orang anak yang hidup dan tinggal di bandara. Mereka hidup dari berbagai barang yang mereka pungut di sekitar bandara. Suatu ketika, seorang perempuan muda bernama Lena secara tidak sengaja terseret masuk ke dalam kehidupan keluarga tersebut dan menemukan kenyataan mengerikan mengenai keluarga tersebut yang sungguh di luar dugaan. 

Mum & Dad tidak didukung oleh casts ternama namun aktor dan aktris yang tampil di sini mampu memberikan performa yang cukup layak dipuji. Plot juga dikembangkan dengan sangat baik untuk ukuran torture porn, tidak hanya berbekal adegan sadis namun juga mampu menampilkan ketegangan dan beragam situasi pelik tanpa terlihat terlalu dibuat-buat. Karakter-karakter yang muncul di film ini juga sangat menarik, terutama karakter anggota keluarga yang menjadi sorotan utama di film ini. Pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan ‘keluarga tak biasa’ di film ini pun boleh dibilang cukup segar dan tidak terlalu terjerumus ke dalam klise. Ditambah dengan bumbu dark comedy khas British menjadikan Mum & Dad sebagai tontonan yang tepat untuk disaksikan bersama teman-teman anda saat Halloween. A perfect combination of fear, fun, and fucked-up. Silakan dapatkan filmnya di sini.

The Visitor (1979)

Film kedua dalam daftar ini adalah sebuah masterpiece horror cult yang mungkin agak underrated. The Visitor adalah film horror yang mengedepankan unsur teror dan nuansa aneh. Selain itu, film ini juga mencampurkan komposisi sci-fi dan occultism ke dalam plot yang menghasilkan suatu sajian horror yang cukup unik dan berbeda dengan film-film horror kebanyakan. 

Plot The Visitor berpusat pada seorang anak perempuan bernama Katie yang memiliki kekuatan spesial. Katie tinggal bersama ibunya, seorang janda yang sedang dekat dengan seorang pria pemilik tim basket ternama. Pria ini bermaksud menikahi ibu Katie. Katie pun selalu membujuk ibunya agar mau menikahi sang pria. Ternyata, ada suatu agenda besar yang melibatkan kekuatan jahat yang “out of this world” di balik rencana pernikahan ini. Di lain pihak, seorang pria tua yang dikenal sebagai The Visitor berusaha untuk mengalahkan kekuatan jahat yang bersembunyi di balik semua peristiwa yang melibatkan Katie. Siapakah Katie sebenarnya? Mampukah The Visitor menyelamatkan Katie dan ibunya? 

Bila anda kebetulan merupakan penyuka film horror yang cukup taat, plot The Visitor akan sedikit mengingatkan anda pada masterpiece horror lainnya yaitu Rosemary’s Baby (1968). Sosok demonic child yang ditampilkan dalam wujud Katie juga sedikit banyak akan mengingatkan anda pada Damien di The Omen (1976). Sebagai salah satu horror klasik yang memiliki status cult yang cukup besar, The Visitor sangat cocok bagi anda yang menyukai film horror dengan kengerian yang bernuansa aneh. Dari segi sinematografi, film ini memiliki beberapa adegan yang cukup memukau secara visual untuk ukuran film tahun 70an. Didukung dengan score yang bergaya psychedelic/boogie yang cukup ikonik, The Visitor saya rasa cukup layak untuk menemani anda saat merayakan Halloween nanti. Anda bisa mendapatkan film ini di sini.

Starry Eyes (2014)

Salah satu sub genre horror yang cukup saya sukai adalah body horror. Sutradara senior yang sering diidentikkan dengan sub genre ini adalah David Cronenberg. Starry Eyes adalah salah satu film horror yang bisa dimasukkan ke dalam kategori body horror yang menurut saya paling menarik selama lima tahun belakangan. Film horror yang satu ini tidak hanya bisa menampilkan degenerasi tubuh secara baik namun juga hadir dengan plot yang lumayan segar untuk sub genre yang satu ini. 

Starry Eyes menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan muda bernama Sarah. Sarah sehari-hari bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran cepat saji. Kehidupan Sarah bisa dibilang cukup menyedihkan. Sarah juga memiliki kebiasaan buruk yang dia lakukan ketika dia merasa tertekan atau gelisah. Di balik kehidupannya yang biasa-biasa saja, Sarah memiliki obsesi untuk menjadi bintang film terkenal. Suatu saat, dia mendapat panggilan audisi dari sebuah PH yang ingin membuat film. Tanpa dia sadari, PH tersebut ternyata memiliki maksud tersembunyi yang akan mengubah kehidupan Sarah secara drastis. 

Starry Eyes berkutat dengan premis sederhana. Apa yang rela anda korbankan untuk mendapatkan ketenaran? Apa anda rela melakukan apapun, literally anything, untuk mewujudkan obsesi anda menjadi seorang bintang? Menariknya, premis ini bisa dikembangkan dengan sangat baik melalui medium horror, dalam hal ini body horror, dengan melibatkan plot seputar okultisme dan pembunuhan. Seperti juga dengan film body horror kebanyakan, Starry Eyes juga memiliki porsi adegan-adegan yang cukup menjijikkan, yang tentu saja berkaitan dengan degenerasi tubuh. Untuk ukuran film horror indie, Starry Eyes memiliki production value yang cukup bagus. Plot yang solid, karakterisasi yang kuat, serta sinematografi yang digarap serius. Adegan-adegan yang melibatkan ‘cedera’ pada tubuh di Starry Eyes juga dikerjakan dengan efek khusus yang tidak terkesan murahan. Film ini bisa didapatkan di sini.

Creep (2014)

Salah satu film horror paling menarik yang saya tonton baru-baru ini adalah Creep. Film horror yang satu ini digarap dengan gaya mumblecore yang sangat kental. Di sisi lain, Creep juga menggunakan elemen found footage, salah satu gaya yang cukup menonjol di ranah perfilman horror beberapa tahun belakangan. Kendati demikian, film horror low budget yang satu ini mampu mengolah tema found footage menjadi suatu sajian yang cukup segar dan tidak terperangkap dalam klise found footage yang cenderung membosankan dan mudah ditebak. 

Film ini berfokus pada dua karakter utama, Aaron dan Josef. Aaron adalah seorang pemuda yang sedang mencari penghasilan tambahan. Suatu hari, Aaron menjawab iklan di Craiglist yang menawarkan pekerjaan dengan upah yang cukup menggiurkan. Meski benaknya dipenuhi dengan pertanyaan, akhirnya Aaron memutuskan untuk menemui Josef, pria yang memasang iklan pekerjaan tersebut. Dari awal Aaron memang sudah merasa agak sedikit aneh dengan lowongan pekerjaan yang ditawarkan oleh Josef. Ketika akhirnya bertemu dengan Josef, Aaron semakin merasa ada yang tidak beres dengan orang yang menawarinya pekerjaan. Belum lagi dengan detail pekerjaan yang cukup aneh dan menimbulkan berbagai kecurigaan. Semakin lama, Aaron semakin menemukan banyak keanehan pada sosok Josef. Hingga akhirnya Aaron menemukan kenyataan yang cukup mengejutkan tentang Josef. Namun semua sudah terlambat. 

Creep boleh dibilang sebagai film horror tanpa elemen horror yang signifikan. Tidak ada adegan sadis di film ini. Tidak ada darah atau makhluk mengerikan. Tidak ada adegan yang benar-benar menyajikan sesuatu yang menakutkan secara eksplisit. Kengerian yang dimunculkan Creep murni bersumber dari situasi-situasi aneh yang disturbing. Tapi justru di sini kekuatan film horror yang satu ini. Terror yang dibangun secara perlahan diamini dengan ending yang cukup mengejutkan. Bila anda termasuk penyuka film horror namun merasa takut bila harus menonton film horror, Creep bisa jadi pilihan yang tepat untuk anda. Film ini bisa didapatkan di sini.

Behind the Mask: The Rise of Leslie Vernon (2006)

Beberapa film horror dibuat sebagai tribute bagi film-film horror lain yang dianggap sebagai masterpiece di ranah perfilman horror. Salah satunya adalah Behind the Mask: The Rise of Leslie Vernon yang merupakan tribute bagi sub genre slasher horror. Bila anda pencinta sub genre horror yang satu ini, Behind the Mask merupakan suatu sajian yang sangat sayang untuk anda lewatkan. Meski terkesan amatiran dan low budget secara visual, film horror yang satu ini mampu menyajikan plot yang matang dengan twist yang cukup brilian.  

Film ini menyoroti sepak terjang tiga orang kru film dokumenter dalam usaha mereka untuk mendokumentasikan kehidupan sehari-hari Leslie Vernon, seorang pemuda yang bercita-cita untuk menjadi the next slasher legend layaknya Jason Vorhees atau Michael Myers. Tiga orang kru tersebut selalu mengikuti kemanapun Leslie pergi. Leslie juga selalu membagi rencananya ketika ingin melakukan pembunuhan pada tiga orang kru tersebut, lengkap dengan berbagai detail mengenai rencana pembunuhan. Apa yang awalnya terkesan main-main dan menyenangkan, berubah menjadi teror mengerikan ketika Leslie semakin tenggelam dalam obsesinya untuk menjadi pembunuh berantai ternama dan ketiga orang kru tersebut semakin terperangkap dalam obsesi Leslie.

Dilihat dari premisnya saja, Behind the Mask sudah sangat menarik dan cukup unik. Premis ini kemudian dikembangkan dengan sangat baik ke dalam plot yang tidak hanya menyoroti kengerian khas film slasher, namun juga mampu membedah setiap elemen yang digunakan pada sub genre yang satu ini dengan sangat menawan. Porsi humor yang dituangkan ke dalam plot juga cukup pas dan mampu dimanfaatkan secara tepat. Bila anda kebetulan menyukai The Final Girls (2015), Behind the Mask adalah sajian yang cocok untuk anda pilih sebagai tontonan ketika merayakan Halloween nanti. Silakan dapatkan filmnya di sini.      

Southbound (2015)

Belum lengkap rasanya bila dalam daftar ini saya tidak memasukkan satu antologi horror. Saya memutuskan untuk menutup daftar ini dengan Southbound, antologi horror yang bisa dijadikan alternatif tontonan saat merayakan Halloween selain franchise V/H/S dan The ABCs of Death. Berbeda dengan V/H/S yang cenderung chaotic atau The ABCs of Death yang cenderung menonjolkan sisi eksperimental, Southbound bisa dikatakan cukup ‘rapi’ dan lebih old-fashioned

Film horror ini terdiri dari lima segmen yang tidak saling berhubungan namun tetap bersinggungan dan memiliki benang merah yang sama. Setiap segmen mengangkat gaya serta tema horror yang berbeda-beda. Hampir semua elemen film horror bisa anda temukan di Southbound mulai dari occultism, home invasion, bahkan hingga makhluk misterius. 

Southbound tidak hanya menawarkan kengerian dalam setiap segmen, namun juga menyajikan horror dalam kemasan yang cukup menyenangkan. Konsep serta plot yang mengacu pada gaya yang digunakan dalam The Twilight Zone menjadikan Southbound sebagai suatu horror antologi yang dipenuhi dengan keganjilan serta momen-monen yang cukup unsettling. Satu lagi nilai lebih dari Southbound, transisi dari satu segmen ke segmen lain disajikan dengan sangat ‘halus’ sehingga berhasil membangun keseluruhan plot sebagai satu kesatuan yang solid. Antologi horror ini bisa anda dapatkan di sini.

Demikianlah rekomendasi enam film horror yang saya tawarkan sebagai tontonan ketika merayakan Halloween tahun ini. Anda bisa memilih film mana yang akan anda tonton berdasarkan preferensi masing-masing. Akhir kata, semoga di Halloween tahun ini kita bisa kembali mempererat tali silaturahmi antar umat beragama demi tercapainya suatu tatanan masyarakat yang medeni~

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Minggu, 31 Juli 2016

100 Film Favorit Saya (So Far)

Beberapa hari yang lalu, netizen dihebohkan dengan daftar 1000 film favorit yang dibuat oleh salah satu sutradara modern yang cukup berpengaruh di era ini, Edgar Wright. Setelah melihat daftar itu, saya merasa berkeinginan untuk membuat daftar serupa, namun tentu saja tidak sampai 1000 judul mengingat film yang saya tonton sejauh ini sepertinya belum mencapai bahkan setengah dari jumlah film di daftar tersebut. Setelah menimbang, saya putuskan untuk membuat daftar 100 film favorit versi saya. Sebagian besar film yang masuk ke dalam daftar ini memiliki nilai sentimental yang cukup kental. Mungkin filmnya tidak bagus atau kurang berkualitas tapi saya menyukainya karena faktor sentimental. Baiklah, tanpa basa basi lagi, berikut adalah daftar 100 film favorit saya sejauh ini. Daftar ini dibuat tanpa berdasarkan peringkat atau kronologis tertentu. 

1.    Se7en (1995) | bisa didapatkan di sini
2.       Fight Club (1999) | bisa didapatkan di sini
3.       The Game (1997) | bisa didapatkan di sini
4.       Panic Room (2002) | bisa didapatkan di sini
5.       The Social Network (2010) | bisa didapatkan di sini
6.       Zodiac (2007) | bisa didapatkan di sini
7.       Gone Girl (2014) | bisa didapatkan di sini
8.       Species (1995) | bisa didapatkan di sini
9.       Prometheus (2012) | bisa didapatkan di sini
10.   Leon: The Professional (1994) | bisa didapatkan di sini
11.   Alien (1979) | bisa didapatkan di sini
12.   Predator (1987) | bisa didapatkan di sini
13.   Predator 2 (1990) | bisa didapatkan di sini
14.   Total Recall (1990) | bisa didapatkan di sini
15.   Terminator 2: Judgment Day (1991) | bisa didapatkan di sini
16.   Slither (2006) | bisa didapatkan di sini
17.   The Faculty (1998) | bisa didapatkan di sini
18.   Under The Skin (2013) | bisa didapatkan di sini
19.   Starship Troopers (1997) | bisa didapatkan di sini
20.   The Illusionist (2010) | bisa didapatkan di sini
21.   District 9 (2009) | bisa didapatkan di sini
22.   Monsters (2010) | bisa didapatkan di sini
23.   Attack the Block (2011) | bisa didapatkan di sini
24.   Dredd (2012) | bisa didapatkan di sini
25.   Mad Max: Fury Road (2015) | bisa didapatkan di sini
26.   John Wick (2014) | bisa didapatkan di sini
27.   12 Angry Men (1957) | bisa didapatkan di sini
28.   The Diving Bell and the Butterfly (2007) | bisa didapatkan di sini
29.   The Texas Chain Saw Massacre (1974) | bisa didapatkan di sini
30.   Cloverfield (2006) | bisa didapatkan di sini
31.   Pacific Rim (2013) | bisa didapatkan di sini
32.   The Mist (2007) | bisa didapatkan di sini
33.   The Green Mile (1999) | bisa didapatkan di sini
34.   Misery (1990) | bisa didapatkan di sini
35.   The Shining (1980) | bisa didapatkan di sini
36.   Life of Pi (2012) | bisa didapatkan di sini
37.   Dogma (1999) | bisa didapatkan di sini
38.   It Follows (2014) | bisa didapatkan di sini
39.   REC (2007) | bisa didapatkan di sini
40.   The Blair Witch Project (1999) | bisa didapatkan di sini
41.   The Poughkeepsie Tapes (2007) | bisa didapatkan di sini
42.   Saw (2004) | bisa didapatkan di sini
43.   Men in Black (1997) | bisa didapatkan di sini
44.   Rear Window (1954) | bisa didapatkan di sini
45.   Psycho (1960) | bisa didapatkan di sini
46.   Lars and the Real Girl (2007) | bisa didapatkan di sini
47.   A Serbian Film (2010) | bisa didapatkan di sini
48.   Martyrs (2008) | bisa didapatkan di sini
49.   The Fall (2006) | bisa didapatkan di sini
50.   Departures (2008) | bisa didapatkan di sini
51.   There Will Be Blood (2007) | bisa didapatkan di sini
52.   Magnolia (1999) | bisa didapatkan di sini
53.   Punch-Drunk Love (2002) | bisa didapatkan di sini
54.   Babel (2006) | bisa didapatkan di sini
55.   Beginners (2010) | bisa didapatkan di sini
56.   Me and Earl and the Dying Girl (2015) | bisa didapatkan di sini
57.   Be Kind Rewind (2008) | bisa didapatkan di sini
58.   High Fidelity (2000) | bisa didapatkan di sini
59.   Frank (2014) | bisa didapatkan di sini
60.   She’s All That (1999) | bisa didapatkan di sini
61.   Being John Malkovich (1999) | bisa didapatkan di sini
62.   Drive (2011) | bisa didapatkan di sini
63.   Memories of Murder (2003) | bisa didapatkan di sini
64.   I Saw the Devil (2010) | bisa didapatkan di sini
65.   Nick and Norah’s Infinite Playlist (2008) | bisa didapatkan di sini
66.   Scott Pilgrim vs. the World (2010) | bisa didapatkan di sini
67.   Her (2013) | bisa didapatkan di sini
68.   RoboCop (1987) | bisa didapatkan di sini
69.   The Matrix (1999) | bisa didapatkan di sini
70.   Blade Runner (1982) | bisa didapatkan di sini
71.   The Lobster (2015) | bisa didapatkan di sini
72.   The Hitchhiker's Guide to the Galaxy (2005) | bisa didapatkan di sini
73.   The Fifth Element (1997) | bisa didapatkan di sini
74.   Children of Men (2006) | bisa didapatkan di sini
75.   Fargo (1996) | bisa didapatkan di sini
76.   Sicario (2015) | bisa didapatkan di sini
77.   Funny Games (1997) | bisa didapatkan di sini
78.   Pee-Wee’s Big Adventure (1985) | bisa didapatkan di sini
79.   Oldboy (2003) | bisa didapatkan di sini
80.   Once Upon a Time in Anatolia (2011) | bisa didapatkan di sini
81.   Hellboy (2004) | bisa didapatkan di sini
82.   Trick ‘r Treat (2007) | bisa didapatkan di sini
83.   The Witch (2015) | bisa didapatkan di sini
84.   Videodrome (1983) | bisa didapatkan di sini
85.   Riki-Oh: The Story of Ricky (1991) | bisa didapatkan di sini
86.   Constantine (2005) | bisa didapatkan di sini
87.   Dune (1984) | bisa didapatkan di sini
88.   Incendies (2010) | bisa didapatkan di sini
89.   Pirate Radio (2009) | bisa didapatkan di sini
90.   A Separation (2011) | bisa didapatkan di sini
91.   Amelie (2001) | bisa didapatkan di sini
92.   Night on Earth (1991) | bisa didapatkan di sini
93.   Coffee and Cigarettes (2003) | bisa didapatkan di sini
94.   Julie & Julia (2009) | bisa didapatkan di sini
95.   The Cabin in the Woods (2011) | bisa didapatkan di sini
96.   Antiviral (2012) | bisa didapatkan di sini
97.   Thank You for Smoking (2005) | bisa didapatkan di sini
98.   The Kids Are All Right (2010) | bisa didapatkan di sini
99.   Lord of War (2005) | bisa didapatkan di sini
100.  Frances Ha (2012) | bisa didapatkan di sini


Demikianlah daftar 100 film favorit saya sejauh ini. 5 judul pertama bisa dipastikan tidak akan berubah. Sisanya, bisa disesuaikan dengan kondisi kejiwaan dan mungkin saja mengalami perubahan. Sekian dan terima kasih. 

Senin, 25 April 2016

Tales from the Golden Age


Rezim Nicolae Ceaușescu adalah rezim yang pernah berkuasa di Romania, yang kalau tidak salah, selama 24 tahun. Sebagaimana rezim-rezim lain yang ada di dunia, Nicolae Ceaușescu memerintah dengan tangan besi yang menciptakan momok tersendiri bagi rakyatnya.

Gaya kepemimpinan yang seperti ini biasanya memicu terciptanya berbagai mitos seputar figur sang pemimpin. Beberapa mitos mungkin sengaja diciptakan untuk memunculkan atau meningkatkan kadar (((ken666erian))) di tengah masyarakat atau untuk menciptakan kesan bahwa sang pemimpin adalah figur pemimpin ideal bagi rakyatnya. Mitos-mitos yang berfungsi sebagai alat propaganda. Sementara, beberapa mitos lain justru muncul di tengah masyarakat sebagai pengejawantahan dari rasa takut yang dialami oleh masyarakat itu sendiri.

Tapi tenang, saya tidak akan membahas mengenai Nicolae Ceaușescu dan rezimnya. Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba sedikit mengulas (dengan ringan, tentu saja) sebuah film berjudul Tales from the Golden Age, sebuah film omnibus atau antologi yang mengangkat mitos-mitos yang muncul dan berkembang sepanjang rezim Nicolae Ceaușescu.

Kita mulai dari judulnya. Frasa 'Golden Age' pada judul mengacu pada masa pemerintahan Nicolae Ceaușescu yang digadang-gadang sebagai era keemasan bagi rakyat Romania. Hal ini tentu saja tidak berlaku di lapangan. Nah, film ini mencoba untuk menyajikan dramatisasi dari mitos-mitos di "era keemasan" ini dengan pendekatan satir politik yang sangat efektif. Komedi yang ditampilkan di film ini tidak jauh berbeda dengan komedi di kebanyakan film Eropa (atau Romania, khususnya) lainnya yang menggunakan gaya dark comedy alias komedi suram.

Film omnibus ini dibagi mejadi dua bagian utama yang masing-masing adalah Tales of Authority dan Tales of Love. Bagian pertama terdiri dari empat segmen sementara bagian kedua terdiri dari dua segmen. Setiap segmen akan diakhiri dengan kalimat berbunyi "Kabarnya,..." untuk menegaskan bahwa apa yang baru saja disajikan hanyalah mitos belaka, tidak ada bedanya seperti mitos-mitos yang beredar saat "era keemasan". Mari kita lihat segmen-segmen tersebut satu-persatu.

The Legend of the Official Visit
Di segmen pertama, anda akan diajak mengunjungi sebuah desa kecil yang sedang mempersiapkan penyambutan untuk para petinggi serta delegasi yang akan lewat melintas di desa itu beberapa hari lagi. Proses persiapan berjalan cukup gempar. Masyarakat mengumpukkan hasil kebun di pinggir jalan untuk dipamerkan. Para pria mempersiapkan umbul-umbul dan spanduk berisi slogan-slogan patriotis. Jalan yang akan dilintasi para petinggi dibersihkan dan anak-anak diminta untuk berdiri di pinggir jalan sembari melambai-lambaikan bendera berukuran kecil. Sebelum hari-H, datanglah perwakilan pemerintah ke desa itu untuk melakukan inspeksi mengenai sejauh mana persiapan yang telah dilaksanakan. Malamnya, ada berita tak terduga yang membuat semua orang menjadi cukup kesal.

Segmen pertama ini menarik karena menggambarkan mengenai bagaimana rakyat kecil harus bersusah payah mempersiapkan segala tetek bengek demi menyambut kunjungan para pemimpin mereka. Tak jauh berbeda dengan keadaan di sini, bukan?

"Kami kerja sepanjang malam dan mereka bikin partai!"
The Legend of the Party Photographer
Salah satu pihak yang biasanya paling "direpotkan" oleh rezim pemerintahan adalah pers. Di segmen kedua ini ditampilkan repotnya seorang fotografer dan seorang editor yang bekerja di surat kabar ternama untuk mengedit foto Ceaușescu agar terlihat lebih tinggi. Tekanan semakin bertambah karena tenggat waktu yang semakin mendesak. Akhirnya foto berhasil diedit dan dikirimkan ke percetakan. Paginya, surat kabar beredar ke setiap penjuru negeri. Namun ternyata ada kesalahan kecil yang luput dari mata sang editor.

Segmen kedua mencoba menyoroti tekanan yang dialami oleh pihak pers pada masa rezim pemerintahan Ceaușescu. Ditampilkan dengan gaya komikal yang cukup menggelitik, tentu saja. Meski demikian, saya bisa mendapat gambaran tentang bagaimana mengerikannya memiliki profesi sebagai pers dalam suatu pemerintahan yang memimpin dengan gaya tangan besi. Sekali lagi, tak jauh berbeda dengan keadaan di sini saat rezim Suharto berkuasa.

The Legend of the Zealous Activist
Segmen ketiga mengangkat kisah tentang seorang aktivis yang ingin ikut berpartisipasi dan berkontribusi untuk kemajuan partai dengan cara mengikuti anjuran petinggi partai untuk mengentaskan buta huruf di pelosok negeri. Sang aktivis akhirnya memutuskan pergi ke satu desa kecil untuk mengajarkan baca tulis pada penduduk desa. Ternyata, niat baik dan patriotisme sang aktivis mendapat tanggapan yang cukup mengejutkan dari penduduk desa.

Segmen ini mengingatkan saya pada program Indonesia Mengajar (kalau tidak salah namanya itu seingat saya). Menarik karena (lagi-lagi) tema di segmen ini terasa cukup dekat dengan isu yang pernah berkembang (di sini) beberapa saat yang lalu.

Suatu pertanyaan.
The Legend of the Greedy Policeman
Beberapa hari menjelang hari raya, seorang polisi dijanjikan oleh saudaranya akan mendapatkan daging babi. Sang polisi tentu saja senang. Namun ternyata yang diberikan oleh saudaranya bukanlah daging babi melainkan seekor babi yang masih hidup. Tidak mau ketahuan oleh tetangganya, sang polisi akhirnya menggunakan metode yang lumayan nyentrik untuk menyembelih babi yang baru saja didapatnya.

Segmen keempat mungkin bertujuan untuk menggambarkan karakter penegak hukum di Romania atau mungkin juga ingin menyajikan gambaran mengenai kesenjangan sosial. Tapi bisa jadi segmen ini juga sebenanya hanya ingin menggambarkan keserakahan serta kebodohan manusia secara umum.

The Legend of the Air Sellers
Seorang siswi sedang butuh uang untuk mengikuti semacam study tour. Sayangnya, orang tuanya hanya memiliki uang pas-pasan sehingga si siswi terancam tidak bisa mengikuti study tour. Siswi itu kemudian berkenalan dengan seorang pemuda yang mengajarkannya cara mudah mendapatkan uang.

Segmen ini adalah segmen pertama dari bagian kedua, Tales of Love. Tidak seperti bagian pertama yang sangat kental unsur politisnya, bagian kedua ini lebih berfokus pada kisah-kisah bergaya slice of life (namun tetap disajikan dengan bumbu humor kelam) tentang pengaruh rezim Ceaușescu pada kehidupan masyarakat Romania sehari-hari. Segmen ini sendiri agak bernuansa sedikit romantis namun tetap mengangkat tema utama berupa kritik sosial, terutama mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat Romania di bawah kepemimpinan Ceaușescu.

Bonnie and Clyde.
The Legend of the Chicken Driver
Segmen terakhir di film ini yang juga merupakan segmen kedua pada bagian Tales of Love. Segmen ini mengangkat cerita tentang seorang pria dengan kehidupan yang "lurus-lurus aja" yang bekerja sebagai supir truk pengangkut ayam. Hubungan pria ini dengan istrinya agak hambar dan kurang harmonis. Di sisi lain, pria ini mulai menyimpan rasa pada seorang wanita pemilik penginapan yang biasa digunakan para supir truk sebagai tempat singgah di tengah perjalanan. Satu kejadian kecil di penginapan itu tiba-tiba mengubah kisah hidup sang pria.

Segmen penutup ini menyoroti kehidupan rumah tangga dan segala problematikanya. Faktor ekonomi tetap digunakan sebagai latar belakang cerita. Tetap menggelikan dengan kadar kesuraman yang terjaga baik.


Demikianlah enam segmen yang bisa anda simak di Tales from the Golden Age. Salah satu hal yang saya rasa cukup menarik dari film ini adalah "keberanian" para sineas Romania untuk mengubah propaganda menjadi sesuatu yang layak tawa. Sejarah memang kelam. Namun kehidupan itu indah dan menyenangkan. Mungkin seperti itu.

p.s.: Mungkin sineas di sini tertarik untuk membuat versi yang lebih "masuk akal dan lucu" dari film Pengkhianatan G30S/PKI? Layak dipertimbangkan, lho...

Silakan dapatkan film Tales from the Golden Age di sini.


Sabtu, 23 April 2016

Virgin Mountain

Hai. Halo. Lama tak bersua di sini, ya. Hhe hhe. (Kayak ada yang nyariin aja~)

Ya seperti biasa, saya kurang pandai berbasa-basi membuka obrolan. Jadi, ya, kita langsung saja ke topik bahasan malam ini.
Beberapa saat yang lalu saya baru saja selesai menonton sebuah film berjudul Virgin Mountain, sebuah drama yang diluar dugaan ternyata sangat menguras perhatian serta emosi saya selama kurang lebih satu setengah jam. Berikut akan saya sampaikan sedikit kesan yang muncul setelah selesai menyakskan film ini.

Tokoh utama di film ini adalah seorang pria berusia 40-an tahun yang bernama Fusi. Fusi memiliki tubuh yang berukuran cukup besar. Gayanya agak sedikit canggung, cenderung pendiam, dan tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Fusi jarang bicara dan bila bicara dia cenderung mengeluarkan kalimat-kalimat pendek dengan intonasi yang terkesan tidak terlalu antusias. Fusi juga memiliki kecenderungan untuk menghindari konflik. Jadi ketika dia diganggu oleh rekan kerjanya, Fusi lebih memilih pergi ketimbang meladeni gangguan itu. Fusi juga jarang sekali menunjukkan emosinya. Dia hampir tidak pernah terlihat tersenyum, apalagi sampai tertawa.
Rutinitas Fusi sehari-hari
Kehidupan Fusi hanya berisi rangkaian rutinitas yang itu-itu saja. Dia bekerja pada bagian bongkar muat di bandara. Setiap jumat malam dia akan makan malam sendirian di restoran langganannya dan selalu memesan menu yang sama. Setelah itu dia akan duduk di dalam mobilnya yang diparkir di tepi sungai, menelpon stasiun radio favoritnya, lalu meminta penyiar (yang sudah sangat hapal dengan suaranya) untuk memutarkan lagu metal kesukaannya. Waktu luangnya diisi dengan bermain model Perang Dunia II bersama teman satu-satunya, Mordur, atau bermain mobil remote control di halaman apartemen.

Fusi. Seorang pria berusia 40-an tahun yang masih perjaka dan tak kunjung menikah dan tetap tinggal serumah dengan ibunya.

Pacar ibunya sedang memberikan tips relationship pada Fusi
Kehidupan Fusi mulai sedikit berubah ketika dia bertemu dengan Hera, seorang anak perempuan yang tinggal di gedung apartemen yang sama dengannya. Keduanya mulai sering berinteraksi hingga akhirnya terjadi sesuatu yang berada di luar kendali Fusi.

Selain Hera, Fusi juga berkenalan dengan seorang wanita bernama Sjofn. Fusi mengenal Sjofn di tempat kursus dansa saat Sjofn meminta bantuannya untuk mengantarkanya pulang karena waktu itu cuaca sedang buruk. Sesampainya di rumah Sjofn, keduanya lalu berpisah dengan cara yang lumayan aneh.
Yha~
Fusi mulai merasa tertarik dengan Sjofn dan memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih intens dengan wanita itu. Sayangnya, ternyata jalan Fusi untuk memenangkan hati Sjofn tidak semulus yang dibayangkannya. Sjofn ternyata memiliki masalah yang menyebabkannya mengalami kesulitan untuk menjalani kehidupannya serta menjalin hubungan dengan orang lain. Masalah ini bahkan sampai menyebabkan Sjofn berhenti dari pekerjaannya. Untuk menyelamatkan pekerjaan Sjofn, Fusi menawarkan diri untuk menggantikan wanita itu bekerja sampai Sjofn pulih kembali.
Tanggapan manajer Sjofn terhadap masalah yang dialami oleh wanita itu
Bagaimana hubungan Fusi dan Sjofn selanjutnya? Apakah Fusi, seorang pria dengan kehidupan yang cukup desperate bisa membantu wanita depresif seperti Sjofn?

Sekilas, plot Virgin Mountain sedikit banyak mengingatkan saya pada Punch-Drunk Love, namun dengan kadar kesuraman yang sedikit lebih banyak. Film ini memang memiliki tema yang cukup kelam. Namun di balik itu, film ini sepertinya ingin mempertanyakan, apa itu bahagia? Apakah orang seperti Fusi yang kehidupannya dipenuhi dengan hal-hal monoton tidak bisa merasakan bahagia? Apakah kita bisa benar-benar merasa bahagia hanya dengan membuat orang lain bahagia? Lalu ketika yang kita dapatkan hanya kekecewaan demi kekecewaan, apakah kita masih punya kesempatan untuk membuat diri kita sendiri bahagia?

Kredit terbesar pantas diberikan pada Gunnar Jonsson, aktor yang menghidupkan karakter Fusi. Ekspresi wajah serta intonasi suaranya benar-benar bisa menciptakan kesan yang mendalam. Di satu titik, saya merasa kasihan pada Fusi. Di titik lain saya merasa sedikit sebal. Ah, bodoh sekali pria ini, begitu gerutu saya. Namun kemudian saya terdiam pada beberapa bagian. Pria ini hanya ingin bahagia. Mungkin dia pantas dikasihani. Mungkin apa yang dilakukannya bodoh. Tapi setidaknya dia memperjuangkan sesuatu. Pada bagian akhir ada sedikit kejutan kecil dari Fusi. Hanya sekilas. Tapi berhasil menjadi penutup yang sangat baik.

Plot dan dialog ditampilkan secara natural. Pada beberapa bagian anda bisa menemukan dry humor khas film-film Eropa.

(((Kurt Cowbrain)))
Seperti juga di film lainnya, The Good Heart, sutradara Dagur Kari sangat berhasil mengolah interaksi manusia di Virgin Mountain. Konflik-konflik sederhana yang mungkin sudah biasa kita jumpai di film-film maupun di dunia nyata bisa ditampilkan sebagai suatu sajian istimewa yang mungkin agak sulit untuk dilupakan.

Silakan dapatkan filmnya di sini.