Senin, 31 Maret 2014

Bill Cunningham New York

Layaknya film bertema biografi, film dokumenter yang digarap dengan pendekatan berbeda juga merupakan salah satu hal yang menarik bagi saya. Bill Cunningham New York adalah sebuah dokumenter yang menceritakan tentang Bill Cunningham, seorang fotografer dari New York Times yang spesialisasinya adalah fotografi fashion, lebih khusus lagi, street fashion. Oya, lupa saya sebutkan bahwa Bill, dalam dokumenter ini, adalah seorang pria tua berusia 80 tahun. Bekal Bill dalam menjalankan profesinya adalah sebuah kamera analog dan sebuah sepeda, keduanya mungkin sama uzurnya dengan Bill. Bill tinggal di sebuah apartemen yang dipenuhi dengan album, binder, folder, atau apapun namanya yang berisi dokumen fotografinya. Benda-benda tersebut jumlahnya ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, tersebar di setiap penjuru apartemen Bill. Fokus dokumenter ini adalah kehidupan atau keseharian Bill serta bagaimana dia sangat mencintai profesinya. Kamu juga bisa melihat kesaksian beberapa orang (((terkenal))) tentang Bill. Cara Bill membicarakan fashion dan fotografi dapat mengambarkan betapa dia mencintai kedua aspek tersebut. Cara Bill berbicara, intonasi suaranya ketika dia berbicara, serta senyumnya yang humble, sepertinya sudah cukup menggambarkan karakter Bill sebagai seseorang yang low profile dan menyenangkan. Hal menarik lain adalah fakta bahwa Bill adalah penghuni apartemen terakhir yang akan direlokasi. Bagian ini mungkin berpotensi membuat air mata keharuan menitik perlahan tanpa kamu sadari. Jika kamu menyukai fashion atau fotografi, sebaiknya kamu tonton dokumenter ini. Jika kamu ingin melihat seberapa besar kecintaan seseorang pada profesinya, sebaiknya kamu tonton dokumenter ini. Jika kamu ingin melihat Bill bercerita tentang jas hujannya yang penuh tambalan, sebaiknya kamu tonton dokumenter ini. Jika kamu menyukai dokumenter yang dikemas secara menarik dan bersahaja, sebaiknya kamu tonton dokumenter ini. Film ini bisa kalian dapatkan di sini.
 

Teeth

Entahlah. Saya agak 'ngilu' jika harus membicarakan film ini. Antara tersenyum konyol lalu merasa perih pada bagian tubuh tertentu. Teeth bercerita tentang seorang gadis SMA bernama Dawn. Sepintas Dawn terlihat seperti gadis SMA kebanyakan. Wajahnya cantik, penampilannya menarik, dan kepolosannya terpancar dengan jelas. Layaknya gadis SMA kebanyakan, Dawn juga mulai merasa tertarik pada lawan jenis dan mulai mengeksplorasi sisi seksual dalam dirinya. Dawn mulai mengenal beberapa remaja pria, Tobey dan Ryan. Di sisi lain, Dawn juga mencoba untuk menjadi 'perempuan baik-baik' dengan berusaha untuk tidak berhubungan intim sebelum menikah. Namun apa mau dikata, layaknya gadis (dan pria remaja) SMA kebanyakan, adalah perkara sulit untuk mengontrol hormon yang bergejolak. Celakanya (atau malah beruntungnya?), Dawn memiliki suatu kondisi fisik yang cukup 'unik' yang sayangnya tidak bisa saya ceritakan di sini demi menjaga unsur kejutan dari Teeth. Beberapa teman yang sempat menonton film ini memberikan penilaian bahwa Teeth adalah film yang sarat akan tema feminisme yang ditampilkan dalam kemasan horror/komedi satir. Saya mengamini pernyataan tersebut. Sebagai film horror/komedi, Teeth memliki tema yang cukup segar menurut saya. Juga dikemas dengan cukup baik. Dawn sebagai karakter sentral cukup bisa diperankan serta dihidupkan dengan berhasil oleh Jess Weixler. Tema film ini mungkin sebenarnya cukup 'berat' namun disajikan dalam perspektif yang lebih 'ringan' ala komedi satir. Bagi penonton pria, saya ingatkan untuk tidak terlalu menganggap serius beberapa adegan dalam film ini. Anggap saja Teeth adalah ujian untuk memiliki selera humor yang lebih baik, terutama mengenai (tubuh) perempuan. Seperti kata pepatah, ambil aja hikmahnya, bro. Akhirnya, Teeth adalah film horror dengan perspektif segar dan menarik yang dibalut kadar komedi satir yang pas. Sebuah film yang mungkin akan bisa diilustrasikan lewat percakapan antara dua pria berikut ini.

Pria 1 : Udah nonton Teeth, bro?
Pria 2 : Udah, bro...
Pria 1: ...
Pria 2: ...
Pria 1: I know, bro. I know. I feel you, bro...
Pria 2: *nod*

Dapatkan filmnya di sini.

Fur: An Imaginary Portrait of Diane Arbus

Salah satu genre film yang cukup menarik menurut saya adalah biografi. Ada beberapa film bertema biografi yang untungnya sempat saya tonton sejauh ini dan menurut saya cukup atau bahkan sangat menarik. Salah satunya adalah film ini, Fur: An Imaginary Portrait of Diane Arbus, yang untuk selanjutnya akan saya sebut sebagai Fur saja. Fur menceritakan tentang fragmen dalam kehidupan seorang wanita bernama Diane Arbus. Sebelum menonton film ini, saya tidak mengenal siapa itu Diane Arbus. Jadi bisa dibilang saya adalah penonton awam pada saat menonton Fur. Sebagai penonton awam yang tidak mengenal siapa itu Diane Arbus, film biografi ini saya nilai cukup unik, baik caranya bertutur maupun segala visualisasi yang ditampilkan sepanjang film. Ketika akhirnya saya mengetahui siapa itu Diane Arbus, saya baru paham mengapa visualisasi serta plot di biografi ini dikemas secara begitu artistik. Diane Arbus diperankan dengan sangat gemilang oleh Nicole Kidman. Cukup berhasil menurut saya. Sementara itu, lawan mainnya adalah Robert Downey Jr. yang memerankan karakter bernama Lionel Sweeney, juga dengan kualitas yang layak dipuji. Alur film ditampilkan dengan cukup lambat, namun enak untuk diikuti, setidaknya begitulah menurut saya. Nuansa yang coba dibangun adalah perasaan ganjil sekaligus rasa ingin tahu berbalut sedikit melankolia dan bahagia pada saat yang bersamaan. Hal ini diperkuat dengan teknik pengambilan gambar, pemilihan warna, serta ilustrasi musik yang ditampilkan dalam film ini. Cukup kompleks memang dan mungkin kompleksitas ini sengaja ditampilkan untuk menggambarkan keunikan yang dituangkan Arbus lewat karya-karya fotografinya. Interaksi antara Arbus dan Sweeney pun sungguh nikmat untuk disimak. Terkadang yang berbicara hanyalah gestur dan ekspresi mereka. Sedikit misterius, namun menyenangkan. Bagi penonton yang belum sempat mengenal sosok Arbus, Fur bisa menjadi sebuah film biografi yang cukup unik tentang interaksi antara dua manusia yang digambarkan secara sedikit 'sureal'. Di lain pihak, penonton yang sudah mengenal sosok Arbus, bisa jadi menganggap film ini sebagai sesuatu yang kurang 'akurat', sebagaimana yang mungkin dialami oleh sebagian besar film-film bertema biografi lainnya. Terlepas dari polemik tersebut, Fur menurut saya adalah sebuah film yang cukup menarik yang sangat sayang untuk dilewatkan. Bila kalian menyukai film-film seperti Eternal Sunshine of the Spotless Mind, A Beautiful Mind, atau Pollock, Fur mungkin akan menjadi sajian yang cukup memikat.

Senin, 24 Maret 2014

Rubber

Seberapa absurd sebuah komedi bisa ditampilkan? Pertanyaan inilah yang memicu saya untuk menonton Rubber, sebuah komedi absurd, aneh, dan celakanya menarik. Sebelum melangkah lebih jauh, saya merasa perlu untuk menyampaikan fakta berikut. Tokoh utama dalam Rubber adalah sebuah ban mobil. Ya. Kamu membaca kalimat tadi dengan benar. Ban mobil. Tersebutlah sebuah ban mobil bernama Robert yang menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan telepatis yang bisa digunakan untuk menghancurkan objek-objek tertentu. Menyadari kekuatannya, Robert mulai berkelana dan menggunakan kekuatannya secara semena-mena. Korban pun berjatuhan. Lalu Robert jatuh cinta pada seorang wanita. Wanita, dalam hal ini manusia. Sebuah ban. Jatuh cinta. Pada manusia. Wanita yang beruntung (?) itu adalah Sheila. Gimana? Cukup aneh? Tontonlah film ini dan kamu bakal menemukan hal-hal yang lebih 'merisaukan'. Scene awal dan ending film ini pun cukup epic. Sudahlah. Tonton saja. Niscaya kamu juga akan mengerti. Atau tidak. Entahlah. Silahkan dapatkan filmnya di sini.   

In America

Kota besar selalu dianggap menjanjikan kehidupan yang lebih layak. Apakah benar demikian? Apakah ada harga yang harus dibayar untuk hidup layak di kota besar? Keinginan untuk mencicipi hidup yang lebih layak di kota besar dialami juga oleh keluarga Sullivan, keluarga kecil yang terdiri dari suami istri Johnny dan Sarah serta kedua anak perempuan mereka yang masih kecil, Christy dan Ariel. Dalam In America, diceritakan bahwa keluarga asal Irlandia ini memutuskan untuk pindah ke United States lewat Kanada. Sebagai imigran gelap. Dengan bekal seadanya, keluarga Sullivan memulai perjalanan mereka menggunakan mobil tua. Ada banyak hal menarik, mengharukan, dan heartwarming yang terjadi selama perjalanan mereka menuju United States. Keluarga ini juga sempat bertemu dengan Mateo, seorang seniman Afro-Amerika yang hidup dengan AIDS. Bagaimana perjuangan keluarga Sullivan untuk sampai ke United States? Apa yang terjadi dengan Mateo? Berhasilkah Johnny mewujudkan impian untuk keluarga kecilnya?  Temukan jawabannya di film drama keluarga terpuji ini. Oya, jangan lupa siapkan tisu. Just in case. Silahkan dapatkan film ini di sini

The Savages

The Savages adalah drama keluarga sedikit getir dengan humor kering yang mungkin malah berpotensi bikin sedih ketimbang ketawa. Adalah Wendy Savage dan Jon Savage, dua orang kakak beradik yang diperankan secara prima oleh Laura Linney dan Philip Seymour Hoffman. Kedua kakak beradik ini kemudian dihadapkan pada kenyataan bahwa ayah mereka, Lenny Savage, yang diperankan oleh Philip Bosco, sudah uzur dan membutuhkan perawatan khusus. Wendy dan Jon bukanlah kakak beradik yang dekat dan terbiasa akur. Mereka bahkan tidak terlihat seperti kakak adik. Demikian juga dengan hubungan kedua kakak beradik tersebut dengan ayah mereka, sama rapuhnya. Sepanjang film, kedua kakak beradik ini terlihat berjuang untuk merawat ayah mereka sekaligus mengatasi konflik, baik antara keduanya, maupun dengan diri mereka sendiri. Ada cukup banyak adegan maupun dialog yang berpotensi untuk membuat kamu menangis di The Savages. Film ini bisa disejajarkan dengan film keluarga terpuji lainnya yang mengangkat tema hubungan antara saudara atau hubungan antara anak dengan orang tua layaknya My Sister's Keeper, In Her Shoes, atau Pieces of April. Film ini bisa didapatkan di sini.

Kinky Boots

Film tentang perjuangan seseorang dalam merintis/menjalani karir atau bisnis memang selalu menarik untuk disimak. Apalagi jika cerita mengenai perjuangan itu agak sedikit unik. Film ini contohnya. Kinky Boots menceritakan tentang sepak terjang Charles Price, seorang pemuda yang mewarisi usaha pembuatan sepatu dari ayahnya yang baru saja wafat. Charles adalah tipe pemuda yang biasa-biasa saja dan agak sedikit tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang bisnis sepatu. Charles kemudian bertemu Lola, seorang drag queen yang memiliki masalah dengan sepatu yang tidak pernah membuatnya merasa nyaman. Berdua mereka mencoba untuk membuat sebuah inovasi yang mungkin bisa menyelamatkan bisnis sepatu yang dimiliki oleh Charles. Film drama yang satu ini cukup layak untuk dimasukkan ke daftar film drama motivasi. Dengan kemasan serta alur maupun karakter yang cukup menarik, film ini terasa hangat dan bersahaja. Cukup bernuansa cerah meski konflik tetap ada. Interaksi antara Charles dan Lola lebih dari sekedar partner bisnis. Persahabatan yang terjalin di antara keduanya ditampilkan dengan cukup manis, pun tidak terlalu terkesan berlebihan. Belum lagi dengan status drag queen yang disandang Lola yang kerap memicu cibiran dari para warga. Kamu suka Taking Woodstock, The Hudsucker Proxy, atau bahkan There Will Be Blood? Mungkin Kinky Boots bisa jadi cukup nikmat untuk kamu konsumsi. Silahkan mendapatkan film ini di sini.   

Absurdistan

Premis utama film ini adalah sebuah desa sedang mengalami krisis air. Solusi terhadap masalah ini cukup ekstrim dan mungkin agak absurd. Para istri mencanangkan gerakan mogok berhubungan intim dengan para suami. Para istri tidak akan berhubungan intim dengan suami mereka sampai para suami berhasil menemukan sumber air untuk keperluan seluruh penduduk desa. Di lain pihak, sepasang anak muda tengah dibuai oleh indahnya cinta. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menikah. Namun akibat gerakan mogok 'begituan' yang sedang terjadi di desa tersebut, pasangan anak muda ini terancam gagal menikmati malam pertama mereka. Maka dimulailah petualangan sang anak muda untuk menemukan sumber air agar dapat bercinta dengan kekasihnya. Absurdistan adalah film komedi sureal yang sarat akan metafor dan simbol. Beberapa adegan mungkin akan terkesan sangat cheesy namun juga bisa jadi brilian pada saat bersamaan. Salah satu bagian menarik dari film ini adalah ketika para suami yang hampir putus asa akhirnya mengundang semacam kereta yang menyediakan layanan berupa permainan ketangkasan menembak sasaran. Hadiah permainan ini, menghabiskan waktu satu malam dengan anak perempuan si pemilik kereta. Bila kalian ingin menikmati sajian komedi yang sedikit berbeda, Absurdistan mungkin bisa jadi pilihan yang cukup tepat
.    

Les Amours Imaginaires

Ini adalah film Kanada berbahasa Prancis. Menceritakan tentang persahabatan antara dua orang laki-laki, Nicolas dan Francis, serta satu orang perempuan, Marie, yang berujung pada terciptanya suatu konflik cinta segitiga yang cukup ruwet. Dilihat dari plotnya, sepertinya tidak ada hal baru yang bisa ditawarkan oleh Les Amours Imaginaires. Kisah cinta segitiga ya pasti seperti itu, kita semua mungkin sudah paham. Lalu apa yang menarik dari film ini? Kemasannya tentu saja. Konflik yang ditampilkan tidak terkesan berlebihan. Cukup natural. Dengan sedikit twist. Cuma sedikit. Selain itu, aspek visual film ini juga menurut saya cukup menyenangkan. Gambar serta komposisi warna sangat enak untuk dilihat. Slow motion serta pencahayaan yang digunakan pada beberapa bagian semakin memperkuat kesan stylish yang ingin ditampilkan pada film ini. Hal menarik lainnya adalah segi artistik, terutama busana atau fashion. Buat kamu yang menyukai fashion ala hipster, film ini mungkin bisa dijadikan bahan referensi. Begitulah. Terlepas dari plot yang mungkin terkesan klise, visual film ini sangat stylish menurut saya. Demikian juga dengan pemilihan musik latar. Cukup menarik. Bagian lain yang cukup menarik adalah bagian dimana beberapa karakter seperti sedang diwawancarai mengenai topik tertentu secara bergantian. Bukan hal yang baru memang, namun digarap dengan cukup baik. Jika kamu suka My Blueberry Nights, Lost in Translation, atau Closer, sebaiknya kamu menonton film ini.

Secretary

James Spader dan Maggie Gyllenhaal beradu akting dalam film bertema masochism yang luar biasa ini. Maggie memerankan karakter bernama Lee Halloway, seorang wanita muda yang memiliki penampilan cukup menarik dan baru saja dikeluarkan dari RSJ. Lee sebenarnya cukup cerdas. Namun karena ada sesuatu pada masa lalunya, Lee memendam potensi untuk menjadi 'menyimpang'. Lee kemudian berkerja sebagai sekretaris di firma hukum kecil milik Edward Grey yang diperankan oleh Spader. Awalnya, baik Lee maupun Grey menunjukkan hubungan kerja yang cukup normal. Keduanya terlihat biasa-biasa saja, layaknya orang kebanyakan. Seiring dengan bergulirnya alur cerita, Grey dan Lee akhirnya terlibat dalam suatu hubungan percintaan 'luar biasa' yang sangat menarik untuk diikuti. Secretary adalah film minimalis yang mampu memanfaatkan setiap aspek secara maksimal mulai dari akting, dialog, set, artistik, musik latar,
bahkan hingga plot. Banyak adegan-adegan yang mungkin akan terlihat konyol sekaligus 'mengerikan' bagi penonton 'normal'. Kredit terbesar layak diberikan pada Maggie yang mampu menyelami karakternya dengan sangat brilian. Gestur, intonasi saat berbicara, ekspresi wajah, nyaris tanpa cela. Bila kalian tertarik dengan film sederhana dengan plot serta penyajian yang kuat, kalian sebaiknya menonton Secretary. Sekarang! Film ini bisa ditemukan di sini.

Repulsion

Film ini lumayan jadul. Yang bikin adalah Roman Polanski. Ceritanya adalah tentang seorang wanita muda bernama Carol yang mengalami semacam halusinasi tingkat tinggi. Sepintas Carol terlihat seperti wanita muda kebanyakan. Cantik, punya pekerjaan, hidupnya cukup menyenangkan. Namun akibat suatu kejadian, alam bawah sadar Carol memicu munculnya suatu kondisi kejiwaan yang agak sedikit mengganggu. Kalo kamu menyukai film-film thriller psikologi, Repulsion adalah santapan tepat buat kamu. Film ini ditampilkan dalam format monochrome atau black and white. Jadi buat kamu yang agak kurang betah dengan format film hitam putih, film ini mungkin akan sedikit menjadi semacam ujian kesabaran buat kamu. Konflik kejiwaan yang dialami oleh Carol dapat digambarkan dengan sangat efektif menggunakan tampilan-tampilan visual yang lumayan absurd. Penggunaan sudut pandang Carol secara visual pada beberapa bagian film juga berhasil membangun atmosfer kengerian secara lebih matang. Akting Catherine Deneuve sebagai Carol cukup total. Ekspresi wajah serta gesturnya cukup mampu menggambarkan apa yang sedang berkecamuk di pikirannya. Film ini adalah salah satu film bertema sexual repression yang dari dulu cukup sering saya rekomendasikan. Kalo kamu suka Pi, Eraserhead, atau bahkan Psycho yang legendaris itu, Repulsion sangat layak untuk kamu cicipi. Film ini tersedia di sini

SETELAH

Nganu. Jadi setelah saya baca postingan-postingan kemarin, sepertinya kok terkesan rada agak sedikit terlalu serius, kaku, dan monoton, ya. Jadi hari ini saya memutuskan untuk mengubah format postingan menjadi sedikit lebih santai agar supaya nganu. Demikianlah postingan ini dibuat untuk menjadi semacam bahan pembelajaran demi terciptanya postingan-postingan berikutnya yang lebih yadda yadda. Wassalam.

Minggu, 23 Maret 2014

Mississippi Burning

Mississippi Burning adalah film bertema investigasi dengan latar belakang isu rasial di Amerika yang terjadi pada kisaran tahun 60-an. Akting serta karakter yang diperankan oleh para bintang cukup kuat dan ditampilkan secara maksimal. Sebagai film bertema investigasi, Mississippi Burning cukup mampu menghadirkan alur intens dengan ketegangan yang semakin memuncak hingga film berakhir. Hampir semua aspek dari film ini layak untuk diberikan pujian, terutama pada sektor sinematografi. Film yang sangat saya rekomendasikan terutama bagi anda yang menyukai film-film bertema isu rasial seperti The Help, The Color Purple, atau In the Heat of the Night. Silakan dapatkan filmnya di sini.

Shocking Blue

Film Belanda yang bercerita tentang persahabatan tiga remaja laki-laki. Suatu saat, terjadi kecelakaan yang menimpa salah sorang dari mereka yang berujung pada kematian. Peristiwa ini mengubah cukup banyak hal dalam persahabatan yang telah terjalin sejak lama. Belum lagi ditambah dengan kehadiran seorang gadis yang mulai menjalin hubungan romantis dengan salah satu dari kedua remaja laki-laki tersebut. Konflik pun datang silih berganti yang menguji mereka bertiga akan makna persahabatan dan cinta yang sesungguhnya. Film dengan karakter remaja ini cukup getir pada beberapa bagian, terutama pada bagian akhir. Setting padang rumput hijau yang luas dengan langit yang selalu tampak mendung semakin memperkuat atmosfer film yang lumayan sendu. Sinematografi yang menampilkan rangkaian gambar-gambar indah terkadang terkesan berseberangan dengan alur cerita yang agak sedikit depresif. Shocking Blue sepertinya akan cocok bagi anda yang menyukai film-film yang menampilkan konflik seputar kehidupan remaja dengan tema yang sedikit kelam layaknya The Virgin Suicide, Boys Don't Cry, atau bahkan Thirteen.
   

Lymelife

Film drama yang mengangkat tentang konflik yang dialami sebuah keluarga dengan setting tahun 70-an. Film yang sebenarnya cukup sederhana namun digarap dengan pendekatan yang cukup menarik. Akting para pemeran cukup meyakinkan. Ilustrasi musik sangat mendukung. Porsi komedi satir yang disisipkan pada beberapa bagian film cukup efektif dan tidak terlalu berlebihan. Ada beberapa dialog yang mungkin akan membuat anda tersenyum kecil. Lymelife sangat saya rekomendasikan bila anda menyukai film drama bertemakan konflik keluarga layaknya American Beauty, The Royal Tenenbaums, atau Little Miss Sunshine.

Short Term 12

Film drama yang cukup berpotensi untuk memacu kelenjar air mata bekerja secara lebih aktif. Bercerita tentang semacam panti rehabilitasi untuk anak-anak 'bermasalah'. Di lain pihak, para pekerja di panti rehabilitasi tersebut (yang sesungguhnya masih berusia cukup muda) ternyata juga memiliki masalah masing-masing. Ada cukup banyak bagian dramatis  dalam film ini. Terkadang terasa manis, namun terkadang juga terasa lumayan getir. Penokohan cukup baik. Masing-masing pemeran bisa menghidupkan karakter yang mereka perankan secara cukup prima. Akting terkesan natural dan ditunjang dengan teknik pengambilan gambar bergaya semi-dokumenter. Ilustrasi musik minimalis juga lumayan efektif dalam membantu membangun atmosfir yang berusaha diciptakan sang sutradara lewat rangkaian gambar yang ditampilkan di film ini. Bila anda menyukai film-film bertemakan konflik yang melibatkan anak-anak dengan sedikit campur tangan orang dewasa layaknya Freedom Writers, The Class, atau Dangerous Minds, Short Term 12 sangat saya rekomendasikan. Sebuah film sederhana yang mungkin bisa meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Kalian bisa mendapatkan film ini di sini.

PRAKATA


Hai! Halo! Hehe. Perkenalkan, nama saya Dony. Sudah. Begitu saja. Saya sebenarnya tidak terlalu berminat untuk memperkenalkan diri saya secara mendalam karena sesungguhnya siapalah saya ini hanyalah satu dari sekian banyak butiran piksel yang melayang-layang di layar monitor anda. Tapi ya jika anda memang berniat mengenal lebih jauh, silahkan saja. Demikianlah.

Jadi akhirnya saya membuat blog (lagi?!) yang kali ini dimotivasi oleh semacam 'anjuran' dari beberapa teman di twitter. Ceritanya begini. Beberapa saat yang lalu saya (lumayan) sering membagi-bagikan rekomendasi film-film yang menurut saya bagus dan layak tonton lewat akun twitter saya. Hingga akhirnya ada yang bertanya, yang intinya adalah apakah rekomendasi-rekomendasi tersebut ada dalam bentuk yang lebih terorganisir sehingga lebih mudah diakses, begitulah yang saya tangkap waktu itu. Sehingga akhirnya saya memutuskan, baiklah, saya akan membuat blog dan mengumpulkan rekomendasi film di blog tersebut. Dan blog yang sedang anda baca inilah blog yang saya maksud di atas. Dan postingan pertama ini adalah semacam salam pembuka sebelum masuk ke suguhan utama. Ya sudah. Sepertinya saya mulai kesulitan untuk mengungkapkan maksud dari perkataan saya. Akhir kata saya ucapkan, selamat membaca, selamat (semoga saja) menonton film-film yang saya rekomendasikan. Salam damai...