Senin, 30 Juni 2014

Nebraska

Ada film-film yang muncul dengan begitu 'heboh'nya, mengemas cerita penuh tendensi, serta ditampilkan secara cukup hiperbolis. Namun sekali waktu, muncul juga film-film 'kecil' yang terkesan sederhana, menyampaikan cerita sederhana, ditampilkan secara sederhana, namun anehnya justru mampu meninggalkan kesan yang lebih mendalam dibandingkan film-film 'ribut' yang saya sebutkan sebelumnya. Salah satu sutradara yang (sepertinya) gemar membuat film-film bergaya seperti ini adalah Alexander Payne. Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan menonton Nebraska, sebuah road movie manis manis getir yang dikemas dalam balutan warna hitam putih yang kebetulan disutradarai oleh Alexander Payne.
Saya pertama mengenal Alexander Payne lewat About Schmidt, sebuah drama syahdu tentang seorang pria tua yang mencari arti kehidupan di usia senja. Lalu saya sempat juga menonton karya Payne lainnya, The Descendants, yang tak kalah syahdunya, lengkap dengan balutan musik khas Hawaii yang mendayu-dayu itu. Sayangnya, hingga saat ini, saya malah belum berkesempatan untuk menyaksikan Sideways yang digadang-gadang sebagai salah satu karya terbaik Payne.
Lewat Nebraska, Payne kembali bermain-main dengan tema-tema kegemarannya yaitu kehidupan di usia senja serta hubungan antar anggota keluarga. Secara garis besar, Nebraska mengangkat cerita tentang seorang pria tua bernama Woody Grant yang percaya bahwa dia baru saja memenangkan undian berhadiah uang tunai yang tidak sedikit jumlahnya. Woody tinggal di Billings, sementara untuk mendapatkan uang hadiah undian tersebut, dia harus mengunjungi sebuah kantor yang berada di Nebraska. Di lain pihak, Woody sudah jadi semacam agak pikun, layaknya orang berusia senja kebanyakan. Belum lagi ditambah dengan sejarah kecanduan alkohol yang pernah singgah dalam kehidupannya di masa lalu. Khawatir terjadi sesuatu terhadap Woody dalam perjalanannya, anak laki-lakinya yang bernama David Grant terpaksa menyetujui untuk mengantarkan ayahnya menuju Nebraska, meskipun sebelumnya David selalu mencoba menyadarkan ayahnya bahwa pergi ke Nebraska adalah suatu kesia-siaan belaka karena undian tersebut hanyalah semacam bentuk penipuan/scam. Maka dimulailah perjalanan kedua bapak anak tersebut dari Billings menuju Nebraska. Sepanjang perjalanan, layaknya road movie kebanyakan, ada banyak hal menarik yang terjadi pada keduanya yang pada akhirnya mampu mengubah sikap David pada ayahnya serta menguak berbagai kejutan seputar kehidupan Woody.   
Sepintas, Nebraska mengingatkan saya pada Le Grand Voyage atau Transamerica yang sama-sama mengangkat gaya road movie serta menampilkan cerita mengenai pasangan orang tua dan anak yang harus menghabiskan waktu bersama sepanjang perjalanan dari satu kota ke kota lainnya. Di Nebraska, akting serta chemistry antara Woody dan David sungguh memukau. Karakter Woody yang sedikit keras kepala sungguh serasi ketika dipadankan dengan karakter David yang terkadang terkesan 'ayo aja lah' dan sedikit pasrah dengan keadaan.
Dialog yang ditampilkan dalam Nebraska terkesan alami namun dapat betul-betul mengena pada beberapa bagian. Perhatikan saja dialog yang terjadi ketika David membantu ayahnya mencari gigi palsunya yang diduga terjatuh di sekitar rel kereta api. Sederhana, namun cukup mampu memancing terciptanya senyum tipis di wajah saya.
Dari segi visual, keputusan untuk mengemas Nebraska dalam betuk film hitam putih saya nilai cukup tepat. Meski tampil dalam kemasan hitam putih, Nebraska memiliki beberapa scene yang sangat puitis secara visual.
Alur film berjalan agak lambat dan mungkin akan berpotensi membosankan bagi beberapa orang. Namun bagi saya pribadi, meskipun film ini memiliki alur lambat serta hadir dalam format hitam putih, Nebraska saya nilai sangat jauh dari kesan membosankan. Justru film ini sangat mampu menarik saya tenggelam dalam cerita yang diracik dengan kesederhanaan yang sungguh manis serta memikat. Belum lagi ditambah dengan ilustrasi musik yang mendayu-dayu yang seolah-olah semakin memberi nyawa pada film secara keseluruhan.
Overall, Nebraska sekali lagi berhasil membuktikan kepiawaian Payne dalam menggodok tema sederhana menjadi suatu tontonan yang sangat layak untuk disimak. Beberapa awkward moment yang muncul sepanjang film pun terkesan alami dan tidak terlalu dipaksakan. Pada beberapa bagian, saya dibuat sedikit tertawa dengan situasi yang ditampilkan di Nebraska. Sedikit satir di sana, beberapa bagian manis di sini, serta sekelumit kesedihan di situ. Film dengan adonan yang cukup sempurna dengan gaya feel good sad movie ala Alexander Payne. Silahkan dapatkan filmnya di sini

Kamis, 26 Juni 2014

Snowpiercer

Saya pertama berkenalan dengan Bong Joon-ho lewat Memories of Murder, sebuah drama/thriller dengan plot serta gaya penyajian yang sangat memukau. Saya juga berkesempatan menonton Mother, karya lain dari sang sutradara yang juga tidak kalah intensnya dengan Memories of Murder. Ketika mengetahui bahwa Bong Joon-ho akan menyutradarai Snowpiercer, film pertamanya dengan menggunakan bintang Hollywood, saya menjadi sedikit penasaran akan seperti apa hasilnya nanti. Tadi siang akhirnya saya berkesempatan menonton film ini dan kesan yang saya dapatkan adalah Snowpiercer merupakan karya yang cukup menakjubkan secara garis besar.
Cerita dalam film ini diangkat dari sebuah grafik novel. Berbeda dengan Memories atau Mother yang berkutat seputar kasus kriminal, Snowpiercer tampil dalam balutan tema sci-fi/dystopian yang cukup kental. Perbedaan lain yang cukup mendasar adalah pada Memories atau Mother pendekatan yang digunakan bergaya realis dan cenderung menitikberatkan pada psikologi karakter, sementara pada Snowpiercer, cerita ditampilkan dengan nuansa metafora yang cukup kuat serta sedikit agak bergaya surealis.
Secara garis besar, Snowpiercer menceritakan tentang kondisi bumi di masa depan yang sudah tidak dapat lagi dihuni oleh manusia (dan mungkin makhluk hidup lain) dikarenakan menurunnya suhu udara secara drastis akibat sebuah eksperimen untuk menanggulangi masalah pemanasan global. Eksperimen tersebut mengubah permukaan bumi menjadi hamparan salju dengan suhu dingin yang cukup ekstrim. Manusia dari berbagai belahan bumi yang berhasil bertahan hidup dari 'bencana' tersebut dikumpulkan dalam sebuah kereta api bernama Snowpiercer yang berjalan mengelilingi bumi tanpa henti. Kehidupan di dalam kereta api tersebut juga digambarkan secara cukup ekstrim dimana rangkaian gerbong bagian belakang dihuni oleh masyarakat kelas bawah, sementara rangkaian gerbong bagian depan dihuni oleh masyarakat kelas atas yang dipimpin oleh Wilford, sang pencipta kereta api yang tinggal di ruang mesin atau lokomotif.
Masyarakat kelas atas memimpin dengan gaya totalitarian dan hidup dalam kemewahan. Sementara itu, masyarakat kelas bawah hidup layaknya sampah, serba kekurangan dan di bawah tekanan. Akhirnya, masyarakat kelas bawah mulai merencanakan semacam serangan balik terhadap masyarakat kelas atas. Dipimpin oleh Curtis, mereka mulai menyusun strategi untuk mencapai rangkaian gerbong bagian depan dengan tujuan untuk menumbangkan kekuasaan masyarakat kelas atas. Untuk menjalankan aksinya, Curtis dibantu oleh Namgoong Minsoo, seorang spesialis keamanan yang diyakini Curtis sebagai perancang semua sistem kunci pada semua pintu di gerbong kereta.
Plot Snowpiercer mungkin akan terlihat sedikit lemah pada beberapa bagian (terutama yang menyangkut hal-hal berbau teknis), layaknya film-film bertema sci-fi kebanyakan. Meski demikian, bila dilihat secara keseluruhan, Snowpiercer sesungguhnya menyajikan metafora yang cukup brilian dalam plotnya. Mengusung semangat 1984 atau V for Vendetta, Snowpiercer berusaha untuk mempertanyakan kembali posisi manusia dalam kehidupan, tentang fungsi manusia dalam masyarakat, serta tentang tanggung jawab moral yang harus diemban manusia dalam pengulangan atau penciptaan sejarah. Film ini juga sedikit banyak mengingatkan saya akan The Matrix, terutama tentang konsep keseimbangan dalam suatu tatanan masyarakat/sosial.
Dari segi visual serta artistik, Snowpiercer saya nilai tidak mengecewakan. Beberapa scene bahkan menyajikan tampilan visual yang terlihat sangat mengagumkan dengan detail yang sempurna pada sisi artistiknya. Sektor score juga saya nilai cukup memuaskan meski tak bisa dibilang terlalu istimewa. Overall, sisi teknis saya nilai cukup baik dalam menunjang plot secara keseluruhan.
Kredit terbesar mungkin layak saya berikan pada Tilda Swinton yang memerankan karakter bernama Mason, tangan kanan Wilford. Karakter serta tampilan fisik Mason yang cukup unik serta agak komikal mampu menjadi pusat perhatian pada beberapa scene. Belum lagi dengan ekspresi wajah serta gaya bicaranya yang sangat hiperbola. Wajah Tilda pun dipermak cukup sempurna hingga saya sempat tidak percaya bahwa apa yang sedang saya lihat adalah seorang Tilda Swinton. Momen terbaik karakter Mason adalah ketika wanita tersebut memberikan semacam 'wejangan' pada masyarakat kelas bawah sambil memegang sepatu.
Snowpiercer mungkin bukan karya terbaik Bong Joon-ho. Film ini mungkin belum bisa mengungguli atau bahkan sekedar menyamai Memories of Murder yang saya anggap sebagai karya terbaik Bong Joon-ho sejauh ini. Film ini juga mungkin dianggap sebagian orang kurang layak mendapatkan predikat sebagai salah satu film bertema sci-fi/dystopian terbaik. Meski demikian, Snowpiercer saya nilai tidak terlalu mengecewakan. Cukup menyenangkan untuk disimak dan memiliki beberapa detail yang cukup sempurna baik pada sisi plot, karakter, maupun tampilan visual. Silahkan dapatkan filmnya di sini.      
          

Sabtu, 14 Juni 2014

Polisse

Kasus kriminal atau kejahatan pada anak-anak di bawah umur. Kalimat ini saya rasa sudah cukup menjadi alasan kuat untuk menonton Polisse, sebuah film yang mengangkat tentang sepak terjang sebuah divisi khusus di kepolisian yang mengurusi semua kasus yang berhubungan dengan anak-anak di bawah umur mulai dari tindak kekerasan terhadap anak-anak di bawah umur hingga eksploitasi seksual yang melibatkan anak-anak di bawah umur atau remaja. Divisi ini terdiri dari beberapa orang polisi dengan karakter berbeda-beda. Beberapa orang dari mereka adalah wanita. Lalu ada juga seorang jurnalis wanita yang ditugaskan oleh pemerintah untuk meliput serta mendokumentasikan kerja divisi ini. Bayangkan [REC], lalu ganti petugas pemadam kebakaran dengan personil divisi ini dan ganti 'zombie' dengan pelaku kejahatan, ganti juga adegan sadis menegangkan berlumuran darah dengan dialog-dialog yang mencengangkan, memerihkan hati dan perasaan. Kalian akan mendapatkan Polisse, film drama dengan alur serta intensitas cerita yang sungguh kuat.
Cerita dibuka dengan adegan interogasi. Seorang polisi wanita berusaha menggali keterangan dari seorang anak perempuan yang diduga mengalami tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang tuanya. Adegan awal ini saja sudah mampu menciptakan sayatan di hati. Suasana yang tenang serta ekspresi anak perempuan tersebut saat menceritakan apa yang pernah dialaminya akan membuat kalian menghela napas panjang. Sederhana dan sangat mengena. Adegan awal ini saya nilai cukup berhasil membangun atmosfir cerita secara keseluruhan. Semacam peringatan bahwa film yang akan kalian lihat bakal penuh berisi dengan hal-hal getir yang mengejutkan sekaligus menyedihkan.
Semua kasus yang ditampilkan di film ini didasarkan pada kasus nyata yang benar-benar pernah terjadi. Meski demikian, film ini tidak berfokus pada kasus tertentu saja, melainkan lebih ke pada bagaimana anggota divisi tersebut menghadapi pekerjaan mereka serta efek pekerjaan terhadap kehidupan pribadi dan kondisi psikologis mereka.
Fokus cerita lainnya adalah tentang Melissa, sang jurnalis wanita yang mulai menyimpan perasaan pada salah satu anggota divisi. Keterlibatan Melissa dalam divisi tersebut, mau tak mau mulai mempengaruhi objektivitasnya sebagai 'pihak luar'. Tentu saja. Siapa yang tak akan terlibat emosinya jika setiap hari harus berhadapan dengan anak-anak korban pelecehan seksual? Ketika Melissa mulai melibatkan perasaan dalam tugasnya, hal itu tentu merupakan sesuatu yang cukup wajar, meskipun seharusnya, idealnya, hal tersebut tidak semestinya terjadi.
Bahkan anggota divisi yang sudah demikian terlatih, pada satu titik bisa menjadi meledak ketika dihadapkan dengan pilihan antara 'yang seharusnya dilakukan' dan 'yang bisa dan boleh dilakukan'. Dalam bidang profesi seperti ini, terlalu melibatkan perasaan serta emosi bukanlah hal yang baik bagi profesionalisme. Ada aturan yang tetap harus diikuti meski terkadang hati berteriak bahwa 'ini tidak benar!'. Hal ini tergambarkan dengan cukup baik pada beberapa bagian cerita. 
Polisse ditampilkan dengan menggunakan gaya dokumenter yang mana sangat efektif dalam memupuk rasa perih yang ditebarkan di berbagai penggalan cerita melalui kesan nyata yang ditimbulkan. Film ini seperti Short Term 12, hanya dengan kadar getir yang mungkin lebih tinggi. Adegan penutup pun sangat dramatis dan mampu membuat napas saya tercekat. Beberapa bagian cerita mungkin bisa membuat kalian geram. Film yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kalian bisa mendapatkan filmnya di sini.